DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
SALINAN
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-32/PJ/2015
TENTANG
PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26
SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
|
Menimbang |
: |
a. |
bahwa penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak terhitung
mulai tanggal 1 Januari 2015 telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan
Tidak Kena Pajak; |
|
|
b. |
bahwa bagian penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dari pegawai
harian dan mingguan serta pegawai tidak tetap lainnya yang tidak
dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan telah ditetapkan dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.010/2015 tentang Penetapan Bagian
Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan
serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak
Penghasilan; |
|
|
c. |
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b,
serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas
Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang
Pribadi, dan ketentuan Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
152/PMK.010/2015 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan dengan
Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap
Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan, perlu
menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Pedoman Teknis Tata
Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21
dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa,
dan Kegiatan Orang Pribadi; |
|
|
|
|
|
Mengingat |
: |
1. |
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999); |
|
|
2. |
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893); |
|
|
3. |
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008 tentang Besarnya
Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan
Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan; |
|
|
4. |
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan
Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi; |
|
|
5. |
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak; |
|
|
6. |
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak; |
|
|
7 |
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.010/2015 tentang Penetapan
Bagian Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan
Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan
Pemotongan Pajak Penghasilan; |
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN: |
Menetapkan |
: |
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA
CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA,
DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI. |
|
|
|
|
|
|
|
BAB 1 |
|
|
KETENTUAN UMUM |
|
|
|
|
|
Pasal 1 |
|
|
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan: |
|
|
1. |
Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. |
|
|
2. |
Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan
yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri,
yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah pajak atas penghasilan
berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan,
jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam
negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak
Penghasilan. |
|
|
3 |
Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan
yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi Subjek Pajak luar negeri,
yang selanjutnya disebut PPh Pasal 26, adalah pajak atas penghasilan
berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan,
jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak luar
negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak
Penghasilan. |
|
|
4. |
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak orang
pribadi atau Wajib Pajak badan, termasuk bentuk usaha tetap, yang
mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak atas penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 26 Undang Undang Pajak
Penghasilan. |
|
|
5. |
Badan adalah badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. |
|
|
6 |
Penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi atau badan sebagai
penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran imbalan dengan nama dan
dalam bentuk apapun kepada orang pribadi sehubungan dengan pelaksanaan
kegiatan tersebut. |
|
|
7. |
Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi
dengan status sebagai Subjek Pajak dalam negeri yang menerima atau
memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang
tidak dikecualikan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dari
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan, termasuk penerima pensiun. |
|
|
8. |
Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 adalah orang pribadi
dengan status sebagai Subjek Pajak Luar negeri yang menerima atau
memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang
tidak dikecualikan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dari
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan, termasuk penerima pensiun. |
|
|
9. |
Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja,
berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis
maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan
atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan
berdasarkan periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan
lain yang ditetapkan pemberi kerja, termasuk orang pribadi yang
melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri. |
|
|
10. |
Pegawai Tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh
penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan
komisaris dan anggota dewan pengawas, serta pegawai yang bekerja
berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu yang menerima atau
memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur. |
|
|
11. |
Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas adalah pegawai yang hanya
menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja,
berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang
dihasilkan, atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh
pemberi kerja. |
|
|
12. |
Penerima penghasilan Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain
Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas yang memperoleh
penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal
21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan jasa yang dilakukan
berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan. |
|
|
13. |
Peserta kegiatan adalah orang pribadi yang terlibat dalam suatu
kegiatan tertentu, termasuk mengikuti rapat, sidang, seminar, lokakarya (workshop), pendidikan,
pertunjukan, olahraga, atau kegiatan lainnya dan menerima atau
memperoleh imbalan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam kegiatan
tersebut. |
|
|
14. |
Penerima pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang
menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa
lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima tunjangan
hari tua atau jaminan hari tua. |
|
|
15. |
Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat Teratur adalah penghasilan
bagi Pegawai Tetap berupa gaji atau upah, segala macam tunjangan, dan
imbalan dengan nama apapun yang diberikan secara periodik berdasarkan
ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi kerja, termasuk uang lembur. |
|
|
16. |
Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat Tidak Teratur adalah
penghasilan bagi Pegawai Tetap selain penghasilan yang bersifat teratur,
yang diterima sekali dalam satu tahun atau periode lainnya, antara lain
berupa bonus, Tunjangan Hari Raya (THR), jasa produksi, tantiem,
gratifikasi, atau imbalan sejenis lainnya dengan nama apapun. |
|
|
17. |
Upah harian adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara harian. |
|
|
18. |
Upah mingguan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara mingguan. |
|
|
19. |
Upah satuan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh
pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan jumlah unit hasil
pekerjaan yang dihasilkan. |
|
|
20. |
Upah borongan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh
pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan penyelesaian suatu
jenis pekerjaan tertentu. |
|
|
21. |
Imbalan kepada Bukan Pegawai adalah penghasilan dengan nama dan
dalam bentuk apapun yang terutang atau diberikan kepada Bukan Pegawai
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan, antara
lain berupa honorarium, komisi, fee, dan penghasilan sejenis lainnya. |
|
|
22. |
Imbalan kepada Bukan Pegawai yang Bersifat Berkesinambungan adalah
imbalan kepada Bukan Pegawai yang dibayar atau terutang lebih dari satu
kali dalam satu tahun kalender sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan. |
|
|
23. |
lmbalan kepada peserta kegiatan adalah penghasilan dengan nama dan
dalam bentuk apapun yang terutang atau diberikan kepada peserta kegiatan
tertentu, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat,
honorarium, hadiah, atau penghargaan, dan penghasilan sejenis lainnya. |
|
|
24. |
Masa Pajak terakhir adalah masa Desember atau Masa Pajak tertentu di mana Pegawai Tetap berhenti bekerja. |
|
|
|
|
|
|
|
BAB II |
|
|
PEMOTONG PPh PASAL 21 DAN/ ATAU PPh PASAL 26 |
|
|
|
|
|
Pasal 2 |
|
|
(1) |
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, meliputi: |
|
|
|
a. |
pemberi kerja yang terdiri dari: |
|
|
|
|
1. |
orang pribadi; |
|
|
|
|
2. |
badan; atau |
|
|
|
|
3. |
cabang, perwakilan, atau unit, dalam hal yang melakukan sebagian
atau seluruh administrasi yang terkait dengan pembayaran gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain adalah cabang, perwakilan,
atau unit tersebut; |
|
|
|
b. |
bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau
pemegang kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI,
Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga
negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri,
yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa, dan kegiatan; |
|
|
|
c. |
dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan
badan-badan lain yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan
hari tua atau jaminan hari tua; |
|
|
|
d. |
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar: |
|
|
|
|
1. |
honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai
imbalan sehubungan dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan
status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang
melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya
sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya; |
|
|
|
|
2. |
honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai
imbalan sehubungan dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan
status Subjek Pajak luar negeri; dan/ atau |
|
|
|
|
3. |
honorarium, komisi, fee, atau imbalan lain kepada peserta pendidikan dan pelatihan, serta pegawai magang; atau |
|
|
|
e. |
penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang
bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta
lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan yang membayar honorarium,
hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang
pribadi berkenaan dengan suatu kegiatan. |
|
|
(2) |
Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk
melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
adalah: |
|
|
|
a. |
kantor perwakilan negara asing; |
|
|
|
b. |
organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah
ditetapkan oleh Menteri Keuangan; atau |
|
|
|
c. |
pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas yang semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk
melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. |
|
|
(3) |
Dalam hal organisasi internasional tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, organisasi internasional
dimaksud merupakan pemberi kerja yang berkewajiban melakukan pemotongan
pajak. |
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB III |
|
|
PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26 |
|
|
|
|
|
Pasal 3 |
|
|
Penerima Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah orang pribadi yang merupakan: |
|
|
a. |
Pegawai; |
|
|
b. |
penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan
hari tua, atau jarninan hari tua, termasuk ahli warisnya; |
|
|
c. |
Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa, meliputi: |
|
|
|
1. |
tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari
pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan
aktuaris; |
|
|
|
2. |
pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film,
bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
peragawan/ peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan
seniman lainnya; |
|
|
|
3. |
olahragawan; |
|
|
|
4. |
penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator; |
|
|
|
5. |
pengarang, peneliti, dan penerjemah; |
|
|
|
6. |
pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan
sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan
sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan; |
|
|
|
7. |
agen iklan; |
|
|
|
8. |
pengawas atau pengelola proyek; |
|
|
|
9. |
pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara; |
|
|
|
10. |
petugas penjaja barang dagangan; |
|
|
|
11. |
petugas dinas luar asuransi; dan/atau |
|
|
|
12. |
distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya; |
|
|
d. |
anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama; |
|
|
e. |
mantan pegawai; dan/atau |
|
|
f. |
peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan
sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain: |
|
|
|
1. |
peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah
raga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan , teknologi dan perlombaan
lainnya; |
|
|
|
2. |
peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kµnjungan kerja; |
|
|
|
3. |
peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu; |
|
|
|
4. |
peserta pendidikan dan pelatihan; atau |
|
|
|
5. |
peserta kegiatan lainnya. |
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 4 |
|
|
Tidak termasuk dalam pengertian penerima penghasilan yang dipotong
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
adalah: |
|
|
a. |
pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari
negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang
bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan
Warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh
penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta
negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; atau |
|
|
b. |
pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak
Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan
syarat bukan Warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau
kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia. |
|
|
|
|
|
|
BAB IV |
|
|
PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26 |
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
|
|
(1) |
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/ atau PPh Pasal 26 adalah: |
|
|
|
a. |
penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap, baik berupa Penghasilan yang Bersifat Teratur maupun Tidak Teratur; |
|
|
|
b. |
penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya; |
|
|
|
c. |
penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan
hari tua, atau jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang
pembayarannya melewati jangka waktu 2 (dua) tahun sejak pegawai berhenti
bekerja; |
|
|
|
d. |
penghasilan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, berupa upah
harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, atau upah yang
dibayarkan secara bulanan; |
|
|
|
e. |
imbalan kepada Bukan Pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan jasa yang dilakukan; |
|
|
|
f. |
imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku,
uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan
dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama
apapun; |
|
|
|
g. |
penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak
teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan
pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang
sama; |
|
|
|
h. |
penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, atau
imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh
mantan pegawai; atau |
|
|
|
i. |
penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program
pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai dari dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. |
|
|
(2) |
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pula penerimaan dalam bentuk
natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun
yang diberikan oleh: |
|
|
|
a. |
Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; |
|
|
|
|
atau |
|
|
|
b. |
Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit). |
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
|
|
(1) |
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima atau
diperoleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri merupakan penghasilan
yang dipotong PPh Pasal 21. |
|
|
(2) |
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima atau
diperoleh orang pribadi Subjek Pajak luar negeri merupakan penghasilan
yang dipotong PPh Pasal 26. |
|
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
|
|
(1) |
Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
diterima atau diperoleh dalam mata uang asing, penghitungan PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 didasarkan pada nilai tukar (kurs) yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran
penghasilan tersebut atau pada saat dibebankan sebagai biaya. |
|
|
(2) |
Penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 atas penghasilan
berupa penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) didasarkan pada harga pasar
atas barang yang diberikan atau nilai wajar atas pemberian natura
dan/atau kenikmatan yang diberikan. |
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
|
|
(1) |
Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah: |
|
|
|
a. |
pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi
sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi
jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa; |
|
|
|
b. |
penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk
apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2); |
|
|
|
c. |
iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau
iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua
atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh
pemberi kerja; |
|
|
|
d. |
zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui
di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sepanjang tidak
ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan; atau |
|
|
|
e. |
beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf 1 Undang-Undang Pajak Penghasilan. |
|
|
(2) |
Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi kerja, termasuk yang
ditanggung oleh Pemerintah, merupakan penerimaan dalam bentuk kenikmatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b . |
|
|
|
|
|
|
|
BAB V |
|
|
DASAR PENGENAAN DAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26 |
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
|
|
(1) |
Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut : |
|
|
|
a. |
Penghasilan Kena Pajak, yang berlaku bagi: |
|
|
|
|
1. |
Pegawai Tetap; |
|
|
|
|
2. |
penerima pensiun berkala; |
|
|
|
|
3. |
Pegawai Tidak Tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau
jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender
telah melebihi Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah); dan |
|
|
|
|
4. |
Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan; |
|
|
|
b. |
jumlah penghasilan yang melebihi Rp300.000,00 (tiga ratus ribu
rupiah) sehari, yang berlaku bagi Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja
Lepas yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah
borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu)
bulan kalender belum melebihi Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah); |
|
|
|
c. |
50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku
bagi Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang
menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan; atau |
|
|
|
d. |
jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima penghasilan
selain penerima penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan
huruf c. |
|
|
(2) |
Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 26 adalah jumlah penghasilan bruto. |
|
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
|
|
(1) |
Jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh penerima
penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah
seluruh jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang
diterima atau diperoleh dalam suatu periode atau pada saat dibayarkan. |
|
|
(2) |
Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut: |
|
|
|
a. |
bagi Pegawai Tetap dan penerima pensiun berkala, sebesar penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP); |
|
|
|
b. |
bagi Pegawai Tidak Tetap, sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP; dan |
|
|
|
c. |
bagi Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c,
sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto dikurangi
PTKP per bulan. |
|
|
(3) |
Besarnya penghasilan neto bagi Pegawai Tetap yang dipotong PPh Pasal
21 adalah jumlah seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan: |
|
|
|
a. |
biaya jabatan, sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto,
setinggi-tingginya Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan atau
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun; dan |
|
|
|
b. |
iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana
pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau
badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang
dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan. |
|
|
(4) |
Besarnya penghasilan neto bagi penerima pensiun berkala yang
dipotong PPh Pasal 21 adalah seluruh jumlah penghasilan bruto dikurangi
dengan biaya pensiun, sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto,
setinggi-tingginya Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sebulan atau
Rp2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun. |
|
|
(5) |
Dalam hal Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c
memberikan jasa kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26; |
|
|
|
a. |
mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya maka besarnya jumlah
penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar
jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji atau upah dari
pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam
kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari
pegawai yang dipekerjakan tersebut maka besarnya penghasilan bruto
tersebut adalah sebesar jumlah yang dibayarkan; atau |
|
|
|
b. |
melakukan penyerahan material atau barang maka besarnya jumlah
penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya atas
pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak
dapat dipisahkan antara pernberian jasa dengan material atau barang maka
besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan
material atau barang. |
|
|
(6) |
Dalam hal jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibayarkan kepada dokter yang melakukan praktik di rumah sakit
dan/atau klinik maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar
jasa dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik
sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau
klinik. |
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
|
|
(1) |
Besarnya PTKP per tahun adalah sebagai berikut: |
|
|
|
a. |
Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi; |
|
|
|
b. |
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; dan |
|
|
|
c. |
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) tambahan untuk setiap anggota
keluarga sedarah dan keluarga semenda dalarn garis keturunan lurus serta
anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga)
orang untuk setiap keluarga. |
|
|
(2) |
PTKP per bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf c
adalah PTKP per tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi 12 (dua
belas), sebesar: |
|
|
|
a. |
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi; |
|
|
|
b. |
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; dan |
|
|
|
c. |
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tambahan untuk
setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis
keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya,
paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. |
|
|
(3) |
Besarnya PTKP bagi karyawati berlaku ketentuan sebagai berikut: |
|
|
|
a. |
bagi karyawati kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri; dan |
|
|
|
b. |
bagi karyawati tidak kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri
ditambah PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya. |
|
|
(4) |
Dalam hal karyawati kawin dapat menunjukkan keterangan tertulis dari
Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan
bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya
PTKP adalah PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk status kawin
dan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya. |
|
|
(5) |
Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun kalender. |
|
|
(6) |
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
besarnya PTKP untuk pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia
dalam bagian tahun kalender ditentukan berdasarkan keadaan pada awal
bulan dari bagian tahun kalender yang bersangkutan. |
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
|
|
(1) |
Atas penghasilan bagi Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas
yang tidak dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatifnya dalam 1
(satu) bulan kalender belum melebihi Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah),
berlaku ketentuan sebagai berikut: |
|
|
|
a. |
tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan
sehari atau rata-rata penghasilan sehari belum melebihi Rp300.000,00
(tiga ratus ribu rupiah); atau |
|
|
|
b. |
dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau
rata-rata penghasilan sehari melebihi Rp300.000,00 (tiga ratus ribu
rupiah), dan jumlah sebesar Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah)
tersebut merupakan jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. |
|
|
(2) |
Rata-rata penghasilan sehari sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah rata-rata upah mingguan, upah satuan, atau upah borongan untuk
setiap hari kerja yang digunakan. |
|
|
(3) |
Dalam hal Pegawai Tidak Tetap telah memperoleh penghasilan kumulatif
dalam 1 (satu) bulan kalender melebihi Rp3.000.000,00 (tiga juta
rupiah) maka jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah
sebesar PTKP yang sebenarnya. |
|
|
(4) |
PTKP yang sebenarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah sebesar PTKP untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya. |
|
|
(5) |
PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang sebenarnya
adalah sebesar PTKP per tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(1) dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) hari. |
|
|
(6) |
Dalam hal berdasarkan ketentuan di bidang ketenagakerjaan diatur
kewajiban untuk mengikutsertakan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja
Lepas dalam program jaminan hari tua atau tunjangan hari tua, maka iuran
jaminan hari tua atau iuran tunjangan hari tua yang dibayar sendiri
oleh Pegawai Tidak Tetap kepada badan penyelenggara jaminan sosial
tenaga kerja atau badan penyclenggara tunjangan hari tua, dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto. |
|
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
|
|
(1) |
Penerima penghasilan Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf a angka 4 dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP
sepanjang yang bersangkutan telah mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak dan
hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan satu Pemotong
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak memperoleh penghasilan
lainnya. |
|
|
(2) |
Untuk dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), penerima penghasilan Bukan Pegawai harus menyerahkan
fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, dan bagi wanita kawin harus
menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami serta fotokopi
surat nikah dan kartu keluarga. |
|
|
|
|
|
|
BAB VI |
|
|
TARIF PEMOTONGAN PAJAK DAN PENERAPANNYA |
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
|
|
(1) |
Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari: |
|
|
|
a. |
Pegawai Tetap; |
|
|
|
b. |
penerima Pensiun berkala yang dibayarkan secara bulanan; dan |
|
|
|
c. |
Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang dibayarkan secara bulanan. |
|
|
(2) |
Untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap Masa
Pajak, kecuali Masa Pajak terakhir, tarif diterapkan atas perkiraan
penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun, dengan ketentuan
sebagai berikut: |
|
|
|
a. |
perkiraan atas penghasilan yang bersifat teratur adalah jumlah
penghasilan teratur dalam 1 (satu) bulan dikalikan 12 (dua belas);dan |
|
|
|
b. |
dalam hal terdapat tambahan penghasilan yang bersifat tidak teratur
maka perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun
adalah sebesar jumlah pada huruf a ditambah dengan jumlah penghasilan
yang bersifat tidak teratur. |
|
|
(3) |
Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk setiap Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah: |
|
|
|
a. |
atas penghasilan yang bersifat teratur adalah sebesar Pajak
Penghasilan terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a dibagi 12 (dua belas); dan |
|
|
|
b. |
atas penghasilan yang bersifat tidak teratur adalah sebesar selisih
antara Pajak Penghasilan yang terutang atas jumlah penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dengan Pajak Penghasilan yang
terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a. |
|
|
(4) |
Dalam hal kewajiban pajak subjektif Pegawai Tetap terhitung sejak
awal tahun kalender dan mulai bekerja setelah bulan Januari, termasuk
pegawai yang sebelumnya bekerja pada pemberi kerja lain, banyaknya bulan
yang menjadi faktor pengali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau
faktor pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah jumlah bulan
tersisa dalam tahun kalender sejak yang bersangkutan mulai bekerja. |
|
|
(5) |
Besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk Masa Pajak terakhir
adalah selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh
penghasilan kena pajak selama 1 (satu) tahun pajak atau bagian tahun
pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa-masa sebelumnya
dalam tahun pajak yang bersangkutan. |
|
|
(6) |
Dalam hal kewajiban pajak subjektif Pegawai Tetap hanya meliputi
bagian tahun pajak maka perhitungan PPh Pasal 21 yang terutang untuk
bagian tahun pajak tersebut dihitung berdasarkan Penghasilan Kena Pajak
yang disetahunkan, sebanding dengan jumlah bulan dalam bagian tahun
pajak yang bersangkutan. |
|
|
(7) |
Dalam hal Pegawai Tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember dan
jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong dalam tahun kalender yang
bersangkutan lebih besar dari PPh Pasal 21 yang terutang untuk 1 (satu)
tahun pajak maka kelebihan PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut
dikembalikan kepada Pegawai Tetap yang bersangkutan bersamaan dengan
pemberian bukti pemotongan PPh Pasal 21, paling lambat akhir bulan
berikutnya setelah berhenti bekerja. |
|
|
(8) |
Jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif Pasal 17
ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibulatkan ke bawah hingga ribuan penuh. |
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
|
|
(1) |
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tidak Tetap
atau Tenaga Kerja Lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan,
upah borongan, dan uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak
dibayarkan secara bulanan, tarif lapisan pertama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan
diterapkan atas: |
|
|
|
a. |
jumlah penghasilan bruto sehari yang melebihi Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah); atau |
|
|
|
b. |
jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP yang sebenarnya, dalam hal
jumlah penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender telah
melebihi Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). |
|
|
(2) |
Dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender
telah melebihi Rp8.200.000,00 (delapan juta dua ratus ribu rupiah),
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah Penghasilan Kena Pajak yang
disetahunkan. |
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
|
|
(1) |
Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif dari: |
|
|
|
a. |
Penghasilan Kena Pajak, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah
penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan, yang diterima atau diperoleh
Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka
4 yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1); |
|
|
|
b. |
50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap
pembayaran imbalan kepada Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 huruf c yang bersifat berkesinambungan yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1); |
|
|
|
c. |
jumlah penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan yang
bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan
komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap
pada perusahaan yang sama; |
|
|
|
d. |
juml ah penghasilan bruto berupa jasa produksi, tantiem,
gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang
diterima atau diperoleh mantan pegawai; atau |
|
|
|
e. |
jumlah penghasilan bruto berupa penarikan dana pensiun oleh peserta
program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun
yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. |
|
|
(2) |
Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas: |
|
|
|
a. |
50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap
pembayaran imbalan kepada Bukan Pegawai yang tidak bersifat
berkesinambungan; da |
|
|
|
b. |
jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran yang bcrsifat
utuh dan tidak dipecah, yang diterima oleh peserta kegiatan. |
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
|
|
Pengenaan PPh Pasal 21 bagi pejabat negara, pegawai negeri sipil,
anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia, serta para pensiunannya atas penghasilan yang menjad i beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah, diatur berdasarkan ketentuan yang ditetapkan khusus
mengenai hal dimaksud |
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
|
|
Pengenaan PPh Pasal 21 bagi pegawai atas uang pesangon, uang manfaat
pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua yang dibayarkan
secara sekaligus, diatur berdasarkan ketentuan yang ditetapkan khusus
mengenai hal dimaksud |
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
|
|
(1) |
Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final
diterapkan atas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh sebagai
imbalan atas pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang
pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri dengan memperhatikan
ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku antara
Republik Indonesia dengan negara domisili Subjek Pajak luar negeri
tersebut. |
|
|
(2) |
PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat {l) tidak bersifat final
dalarn hal orang pribadi sebagai Wajib Pajak luar negeri tersebut
berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri. |
|
|
|
|
|
|
BAB VII |
|
|
TARIF PEMOTONGAN PPh PASAL 21 BAGI PENERIMA PENGHASILAN YANG TIDAK MEMPUNYAI NOMOR POKOK WAJIB PAJAK |
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
|
|
(1) |
Bagi penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 yang tidak
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21
dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang
diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. |
|
|
(2) |
Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah sebesar 120% (seratus dua puluh persen} dari jumlah PPh
Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak. |
|
|
(3) |
Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final. |
|
|
(4) |
Dalam hal Pegawai Tetap atau penerima pensiun berkala sebagai
penerima penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang
lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat {l} mendaftarkan diri un tuk
memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dalam tahun kalender yang
bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk Masa
Pajak Desember, PPh Pasal 21 yang telah dipotong atas selisih
pengenaan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) lebih tinggi tersebut
diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan -bulan
selanjutnya setelah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. |
|
|
|
|
|
|
BAB VIII |
|
|
SAAT TERUTANG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26 |
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
|
|
(1) |
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Penerima
Penghasilan pada saat dilakukan pembayaran atau pada saat terutangnya
penghasilan yang bersangkutan. |
|
|
(2) |
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk setiap Masa Pajak. |
|
|
(3) |
Saat terutang untuk setiap Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) adalah akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan
terutangnya penghasilan yang bersangkutan. |
|
|
|
|
|
|
BAB IX |
|
|
HAK DAN KEWAJlBAN PEMOTONG PPh PASAL 21 DAN/ ATAU PASAL 26 SERTA PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PAJAK |
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
|
|
(1) |
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan penerima penghasilan
yang dipotong PPh Pasal 21 wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan
Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. |
|
|
(2) |
Pegawai, penerima pensiun berkala, serta Bukan Pegawai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 wajib membuat surat
pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada awal tahun
kalender atau pada saat mulai menjadi Subjek Pajak dalam negeri sebagai
dasar penentuan PTKP dan wajib menyerahkannya kepada pemotong PPh Pasal
21 dan/ atau PPh Pasal 26 pada saat mulai bekerja atau mulai pensiun. |
|
|
(3) |
Dalam hal terjadi perubahan tanggungan keluarga, maka pegawai,
penerima pensiun berkala, dan Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 wajib membuat surat pemyataan baru dan
menyerahkannya kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/ atau PPh Pasal 26
paling lama sebelum mulai tahun kalender berikutnya. |
|
|
(4) |
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib menghitung,
memotong, menyetorkan, dan melaporkan PPh Pasal 21 dan/ atau PPh Pasal
26 yang terutang untuk setiap bulan kalender. |
|
|
(5) |
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib membuat catatan
atau kertas kerja perhitungan PPh Pasal 21 dan / atau PPh Pasal 26 untuk
masing-masing penerima penghasilan, yang menjadi dasar pelaporan PPh
Pasal 21 dan/ atau PPh Pasal 26 yang terutang untuk setiap Masa Pajak
dan wajib menyimpan catatan atau kertas kerja perhitungan tersebut
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. |
|
|
(6) |
Ketentu an mengenai kewajiban untuk melaporkan pemotongan PPh Pasal
21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk setiap bulan kalender sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) tetap berlaku, dalam hat jumlah pajak yang
dipotong pada bulan yang bersangkutan nihil |
|
|
(7) |
Dalam hal dalam suatu bulan terjadi kelebihan penyetoran pajak atas
PPh Pasal 21 dan /atau PPh Pasal 26 yang terutang oleh pem otong PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, kelebihan penyetoran tersebut dapat
diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 dan/ atau PPh Pasal 26 yang terutang. |
|
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
|
|
(1) |
Pemotong PPh Pasal 21 dan/ atau PPh Pasal 26 harus memberikan bukti
pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
Pegawai Tetap atau penerima pensiun berkala paling lama 1 (satu) bulan
setelah tahun kalender berakhir. |
|
|
(2) |
Dalam hal Pegawai Tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember,
bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah yang bersangkutan berhenti
bekerja. |
|
|
(3) |
Pemotong PPh Pasal 21 dan/ atau PPh Pasal 26 harus memberikan bukti
pemotongan PPh Pasal 21 atas pemotongan PPh Pasal 21 selain Pegawai
Tetap dan penerima pensiun berkala sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1),
serta bukti pemotongan PPh Pasal 26 setiap kali melakukan pemotongan PPh
Pasal 26. |
|
|
(4) |
Dalam hal dalam 1 (satu) bulan kalender, kepada satu penerima
penghasilan dilakukan lebih dari 1 (satu) kali pembayaran penghasilan,
bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dapat dibuat sekali untuk 1 (satu) bulan kalender. |
|
|
(5) |
Bentuk formulir pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersendiri. |
|
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
|
|
(1) |
PPh Pasal 21 dan /atau PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pernotong PPh
Pasal 21 dan /atau PPh Pasal 26 untuk setiap Masa Pajak wajib disetor
ke Kantor Pas atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, paling lama
10 (sepuluh) hari setelah Masa Pajak berakhir |
|
|
(2) |
Perno tong PPh Pasal 21 dan/ atau PPh Pasal 26 wajib melaporkan
pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 21 dan/ atau PPh Pasal 26 untuk
setiap Masa Pajak yang dilakukan melalui penyampaian Surat Pemberitahuan
Masa PPh Pasal 21 dan / atau PPh Pasal 26 ke Kantor Pelayan an Pajak
ternpat Pemotong PPh Pasal 21 dan/ atau PPh Pasal 26 terdaftar, paling
lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. |
|
|
(3) |
Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 21 dan/atau PPh
Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan batas waktu pelapor an
PPh Pasal 21 dan/ atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur
nasional, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 dan/ atau PPh Pasal 26
dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. |
|
|
|
|
|
|
Paal 25 |
|
|
(1) |
Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong merupakan kredit pajak bagi
penerima penghasilan yang dikenakan pemotongan untuk tahun pajak yang
bersangku tan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final. |
|
|
(2) |
Jumlah pemotongan PPh Pasal 21 atas selisih penerapan tarif sebesar
20% (dua puluh persen) lebih tinggi bagi Pegawai Tetap atau penerima
pensiun berkala sebelum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak yang telah
diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang untuk bulan-bulan
selanjutnya pada tahun kalender berikutnya sebagaimana dimaksud d
alam Pasal 20 ayat (4) tidak termasuk kredit pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1). |
|
|
(3) |
Dalam hal Wajib Pajak yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif
yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1)
mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak maka PPh
Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi untuk
tahun pajak yang bersangkutan. |
|
|
(4) |
Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang
menyatakan jumlah lebih bayar maka penyampaiannya harus dilakukan dalam
jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak berakhirnya tahun pajak
yang bersangkutan. |
|
|
(5) |
Dalam ha! Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang
menyatakan jumlah lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
disampaikan setelah 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya tahun pajak yang
bersangkutan dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis, tidak
dianggap sebagai Surat Pemberi tahuan Tahunan Pajak Penghasilan. |
|
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
|
|
Petunjuk umum dan contoh penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 dan/
atau PPh Pasal 26 adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. |
|
|
|
|
|
BAB X |
|
|
KETENTUAN PERALIHAN |
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
|
|
Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015
tentang Penyesuaian Besamya Penghasilan Tidak Kena Pajak, maka
penghitungan PPh Pasal 21 untuk Tahun Pajak 2015 berlaku ketentuan
sebagai berikut: |
|
|
a. |
penghitungan dan penyetoran PPh Pasal 21 serta pelaporan SPT Masa
PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Juli sampai dengan Desember 2015 dihitung
dengan menggunakan Penghasilan Tidak Kena Pajak berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015 |
|
|
b. |
PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Januari sarnpai dengan Juni 2015 yang
telah dihitung , disetor, dan dilaporkan dengan menggunakan
Penghasilan Tidak Kena Pajak berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 162/PMK.011/2012 dilakukan pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21, dan
dalam hal terdapat kelebihan setor, maka dapat dikompensasikan mulai
Masa Pajak Juli 2015 sampai dengan Desember 2015; dan |
|
|
c. |
penghitungan PPh Pasal 21 terutang pada pembetulan SPT Masa PPh
Pasal 21 Masa Pajak Januari sampai dengan Juni 2015 sebagaimana dimaksud
pada angka 2 dilakukan berdasarkan Peraturan ini |
|
|
|
|
|
|
BAB XI |
|
|
KETENTUAN PENUTUP |
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
|
|
Pada saat berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini,
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2012 tentang Pedoman
Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan
Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan
, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku. |
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
|
|
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Agustus 2015
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd.
SIGIT PRIADI PRAMUDITO |
|
|
|
|
|
|
|
|